Pemilih muda saat akan memasukan surat suara ke dalam kotak suara di Lebak Bulus, Jakarta, Rabu (14/2/2024). | Republika/Putra M. Akbar

Opini

Orientasi Politik Kekuasaan Partai Rakyat Diabaikan

Pandangan ilmuwan politik tentang proses koalisi pasca pemilu bervariasi.

Oleh ASWAR HASAN, dosen Fisip Unhas Makassar

Sejumlah wacana politik belakangan ini menunjukkan politik Indonesia belum banyak berubah. Politik lebih banyak dipahami hanya sebagai cara mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan dan kekuatan (Tajuk Kompas, 16/3/2024).

Seorang ilmuwan politik terkemuka, Robert E Goodin, mendefinisikan orientasi politik sebagai pola sikap individu terhadap politik dan pemerintah yang mencakup keyakinan politik, nilai-nilai (ideologi), preferensi partai, dan partisipasi politik (The Oxford Handbook of Political Science, 2009).

Para ahli politik kerap menekankan urgensi partai politik menjadi wadah untuk mewakili kepentingan masyarakat demi memperjuangkan kebenaran dan keadilan demi kesejahteraan mereka. Ketika partai politik melenceng dari fokusnya pada kepentingan rakyat dan hanya mengutamakan orientasi kekuasaan, maka hal tersebut dianggap sebagai penyimpangan dari tujuan semula dari perjuangan politik yang seharusnya.

Maka dari itu, beberapa pandangan ilmuwan politik tentang proses koalisi pascapemilu bervariasi. Namun, pada umumnya mereka mengakui bahwa koalisi sering kali merupakan hasil negosiasi antara partai politik yang memiliki kepentingan politik dan ideologis yang berbeda. 

 
Para ahli politik kerap menekankan urgensi partai politik menjadi wadah untuk mewakili kepentingan masyarakat
   

Proses tersebut melibatkan tawar-menawar kekuasaan, menyeimbangkan kepentingan, hingga berujung pada kompromi politik. Ilmuwan politik pun memandang proses koalisi pasca pemilu merupakan refleksi dari dinamika politik dalam bernegara, sementara itu, ada juga yang melihatnya sebagai strategi pragmatis untuk mencapai orientasi politik pada kekuasaan semata. Karena itu, dalam konteks kepentingan politik kekuasaan, koalisi kerap kali menjadi sarana untuk memperoleh dan atau mempertahankan kekuasaan politik. Dengan kata lain, masing-masing partai mencari keuntungan sesuai dengan kepentingannya sendiri.

Meskipun demikian, secara ideal normatif, tidak semua praktik politik bernegara selalu berorientasi pada kekuasaan secara eksplisit. Bahwa kekuasaan kerap kali menjadi faktor penting dalam berpolitik, juga terdapat praktik politik yang berfokus pada pencapaian tujuan yang lebih mulia, seperti pada pelayanan masyarakat, pembangunan ekonomi, atau peningkatan kesejahteraan sosial. Meskipun dalam realitanya, unsur kekuasaan acap kali hadir dalam mendominasi dinamika politik, terutama dalam aroma praktik politik yang otoritarian, atau  praktik politik yang didominasi oleh persaingan dan perebutan kekuasaan.

Guna memahami lebih mendalam tentang dinamika koalisi dan kepentingan politik dalam politik demi kekuasaan, penting untuk menyimak pandangan ilmuwan politik, Adam Przeworski (Democracy and The Market: Political and Economic Reforms in Eastern Europe and Latin America, 1991) dimana Przeworski menjelaskan bagaimana proses politik dan ekonomi memengaruhi transisi menuju demokrasi di berbagai negara, Demikian juga halnya partai politik dalam berinteraksi dan membentuk koalisi dalam konteks transisi politik.

Przeworski menyadari bahwa pembentukan koalisi politik acap kali dimotivasi oleh kepentingan pragmatis dari partai politik dalam rangka memperoleh atau mempertahankan kekuasaan. Di samping itu, juga pentingnya menimbang faktor rasional tentang manfaat dan risiko dari berbagai opsi koalisi, termasuk pertimbangan ideologis, elektoral beserta faktor strategis lainnya. Pada intinya, sebuah koalisi partai terlebih jika itu koalisi gemuk, harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi, politik, stabilitas politik, serta efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan yang terbentuk kelak.

 
Permasalahannya, jika koalisi yang terbentuk lebih didominasi politik pragmatisme, maka ideologi partai pun terancam terpinggirkan
   

Permasalahannya, jika koalisi yang terbentuk lebih didominasi politik pragmatisme, maka ideologi partai pun terancam terpinggirkan, identitas politik pun kian tidak jelas. Tanpa kejelasan ideologi politik, konstituen partai akan sulit mengidentifikasi agenda politik yang menjadi peruntukan aspirasinya. Pengambilan keputusan dalam pemerintahan, kerap tidak konsisten atau berubah-ubah, karena tarik menarik kepentingan politik koalisi. Rentan terjadinya fragmentasi politik pemerintahan. Akibatnya, terjadi polarisasi kepentingan politik yang bisa memicu destabilisasi.

Diantara solusi mengatasi pragmatisme koalisi politik yang sekadar berorientasi kekuasaan, adalah dengan memperkuat kesadaran ideologis, mekanisme akuntabilitas dan transparansi partai untuk menunjukkan bahwa keputusan dan tindakan politik mereka itu, masih didasarkan pada prinsip-prinsip ideologi partai yang bertumpu pada kepentingan konstituen.

Sebagai political will partai dalam berkoalisi, maka sebagai bukti bahwa partai tidak meninggalkan konstituennya ketika berkoalisi, maka setidaknya partai harus bisa menjelaskan 4 (empat) pertanyaan dalam bentuk kebijakan partai ke depan, yaitu; apa tujuan koalisi mereka, bagaimana koalisi tersebut untuk kemanfaatan konstituen, apa saja jenis kompromi yang telah disepakati, dan, bagaimana meyakinkan bahwa mereka tetap bertanggung jawab kepada konstituen.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat